3 Rempah-Rempah Indonesia yang Jadi Komoditas Unggulan VOC
Rempah-rempah Indonesia sempat jadi primadona komoditas global. Perdagangan rempah pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-16 membawa keuntungan yang sangat besar bagi bangsa Eropa.
Maklum saja, rempah-rempah berasal dari tempat yang jauh dari Eropa. Akses menuju tempat produksi rempah-rempah sangat sulit sehingga jumlahnya pun terbatas.
Selain itu, sampai dengan abad ke-15, jalur pelayaran ke daerah Nusantara yang merupakan penghasil rempah memang belum diketahui oleh bangsa Eropa. Alhasil, harga rempah-rempah menjadi sangat tinggi.
Dikutip dari buku Sejarah Indonesia Modern karya M.C. Ricklefs, rempah-rempah di Eropa saat itu merupakan soal kebutuhan dan cita rasa. Misalnya saja pada musim dingin, tidak ada cara yang dapat dilakukan agar hewan ternak bisa tetap hidup. Solusinya adalah dengan menyembelih hewan ternak tersebut dan mengawetkan dagingnya.
Untuk melakukan pengawetan daging tersebut sangat diperlukan adanya garam dan rempah-rempah. Di antara rempah-rempah yang diimpor, cengkih dari Nusantara bagian timur (Indonesia bagian timur) adalah yang paling berharga.
Pada perkembangannya, bangsa-bangsa Eropa berlomba-lomba menguasai sumber rempah-rempah. Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris mencoba menancapkan kuku kekuasaannya di sana.
Hingga pada akhirnya, kongsi dagang asal Belanda yang menang. VOC (Vereenig-de Oost-Indische Compagnie) menjadi penguasa di kawasan Nusantara dan berhasil memonopoli perdagangan rempah-rempah.
Baca Juga: 4 Kegunaan Rempah-Rempah bagi Bangsa Eropa Abad Pertengahan
Rempah-rempah Indonesia yang menjadi unggulan dalam perdagangan global saat itu ada 3 jenis, yaitu lada, cengkih, dan pala. Ketiga komoditas itulah yang paling dicari.
Rempah-rempah Indonesia komoditas primadona era VOC
Nusantara bagian barat adalah daerah yang menghasilkan lada. Sedangkan Nusantara bagian timur merupakan daerah penghasil cengkih dan pala.
1. Lada (Piper nigrum)
Lada dihasilkan di Nusantara bagian barat. Tanaman lada bukan asli Indonesia, melainkan India. Tepatnya berasal dari Ghats Barat di Negara Bagian Kerala. Penanaman lada di kawasan Nusantara kemungkinan terjadi bersamaan dengan masuknya pengaruh India ke Kepulauan Nusantara.
Lada tumbuh subur terutama di Pantai Barat Sumatra, Lampung, Banten, dan Kalimantan Selatan. Sebagai komoditas, lada merupakan produk yang paling diminati pada abad ke-15 sampai dengan ke-17.
Selain sebagai bahan untuk membumbui makanan, rempah-rempah yang satu ini dianggap sebagai obat yang baik untuk penyakit tertentu. Bahkan lada bisa digunakan sebagai penangkal racun yang ampuh.
2. Cengkih (Syzygium aromaticum)
Cengkih adalah rempah purbakala yang telah digunakan ribuan tahun yang lalu. Dalam catatan, cengkih telah diperdagangkan sejak era Dinasti Han di China sekitar tahun 200 sebelum masehi.
Cengkih digunakan untuk membumbui makanan dan untuk tujuan medis. Rempah-rempah yang satu ini mampu mengurangi bau mulut dan meringankan sakit gigi.
Cengkih adalah tanaman asli Indonesia yang hingga abad ke-17 hanya diproduksi di Nusantara bagian timur, tepatnya di Kepulauan Maluku. Saking sangat berharganya cengkih, orang Belanda menyebut kawasan penghasil cengkih sebagai The Three Golden from The East (tiga emas dari timur). Tiga tempat itu adalah Ternate, Banda dan Ambon.
Sebagai komoditas, cengkih tentu punya banyak tipe. Istilah Belanda untuk cengkih dengan kualitas utama yaitu giroffel atau garioffelnagel.
3. Pala (Myristica fragrans)
Sama dengan cengkih, pala merupakan tanaman asli Indonesia yang hingga abad ke-17 hanya diproduksi di Nusantara bagian timur, tepatnya di Pulau Banda.
Jika dirunut asal-usulnya, pala di Eropa pertama kali terdapat pada sebuah catatan di Konstantinopel yang berasal dari tahun 54 sebelum masehi. Pada abad ke-12, pala sudah dikenal luas olah orang Eropa.
Sebagai komoditas, pala bisa dijual utuh atau ditumbuk untuk digunakan sebagai penambah cita rasa hidangan yang gurih. Selain itu, pala juga bisa digunakan untuk mengawetkan makanan.
Selain buah pala, biji pala pun menjadi komoditas penting. Pada masa VOC, biji pala dibedakan dalam empat jenis, yaitu gave noten (biji yang mutunya baik), hele rompen (biji utuh), stukken van rompen (biji yang terpecah) dan vermijterde noten (biji yang dimakan ulat).
Baca Juga: Daftar Lengkap Gubernur Jenderal VOC, dari Awal hingga Bangkrut
***
Akhir masa kejayaan rempah-rempah Indonesia sebagai komoditas unggulan
Bagi VOC, keuntungan adalah nomor satu. Apalagi yang dipikirkan oleh sebuah kongsi dagang jika bukan keuntungan? Oleh karena itu, mendapatkan monopoli dan meningkatkan jumlah produksi komoditas jadi upaya yang sering dilakukan,
Penanaman pohon lada meluas sejak tahun 1640 dan setelahnya. Namun, pertumbuhan itu ternyata mendatangkan hal negatif. Produksi lada di Sumatra meningkat sehingga harga lada jatuh di Eropa. Pada abad ke-17 dan ke-18, pamor lada dari segi ekonomi mengalami penurunan.
Pada era berikutnya, setelah VOC digantikan Pemerintah Hindia Belanda, terjadi kebijakan politik tertentu di Belanda. Akibatnya tanam paksa diputuskan untuk dihapuskan.
Penghapusan penanaman paksa di Indonesia berlaku bagi komoditas yang paling sedikit mendatangkan keuntungan, atau yang tidak menguntungkan sama sekali. Penanaman paksa lada dihapuskan pada 1862, menyusul cengkih dan pala pada 1864.
Setelah era tersebut, era kejayaan rempah-rempah Indonesia sebagai komoditas unggulan di kancah global pun usai.
Referensi: buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 karya M.C. Ricklefs | buku Naskah Sumber Arsip Rempah Nusantara Abad 17-18 karya Nurarta Situmorang dkk/ANRI | VOC Glossary Indonesia karya Mona Lohanda (dkk) | The Jakarta Post | gambar: Wikimedia Commons
- Daftar Isi Buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 Karya M.C. Ricklefs - August 12, 2024
- Daftar Provinsi di Indonesia Beserta Ibu Kotanya, Ada 38 Provinsi - August 5, 2024
- Peta Lokasi dan Sebaran Museum di Indonesia - January 14, 2023